A JOURNEY TO TRUST - Pengalaman Presisi Siswi SMA Marsudirini Muntilan

 



A Journey to Trust

Oleh Dela Ayu Wahyuning Hastuti | X IPS 1

 

 

Embusan angin siang mengibarkan Sang Saka Merah Putih dengan eloknya di angkasa, di atasnya kupu-kupu terbang tanpa ragu seolah percaya kepada kedua kekuatan sayapnya yang tak akan membiarkannya terjatuh. Kemudian, hinggaplah dia pada mahkota bunga mawar yang hidup di antara taman.

Pernah mendengar simbiosis mutualisme? Ya, materi kelas lima Sekolah Dasar, yang artinya merupakan interaksi antarmakhluk hidup yang saling menguntungkan. Seperti, hubungan antara kupu-kupu dengan bunga. Kupu-kupu mendapat keuntungan karena memperoleh madu dan nektar dari bunga sementara bunga mendapat keuntungan karena kupu-kupu membantu proses penyerbukan.

Antarmanusia juga sudah seharusnya seperti itu, kan? Hubungan yang tenteram, percaya terhadap satu sama lain, tak ada perasaan merasa dirugikan ketika berteman, serta tak ragu. Namun, memang ada kalanya untuk sampai tahap ‘percaya’ itu sangat sulit, ada saja sesuatu yang menjadi tembok penghalang untuk saling percaya.

Seperti saat ini, Dela dan Delffi sedang berpikir keras sampai ke ubun-ubun hanya karena sesuatu yang terdengar sepele, namun tidak sepele. “Aduh, bakalan susah ini kayaknya,” adu Dela pada dirinya sendiri sambil memperhatikan sebuah book note berwarna hijau – lebih tepatnya dia memperhatikan coret-coretan dari pensil yang ditulisnya sendiri.

Penasaran, Delffi mengecek catatan apa yang tertulis di benda hijau itu. “Hah? Catatan apa ini? Kamu masih bingung buat acara gelar karya nanti, Del?” Periksanya setelah membaca buku tersebut. Yang ditanya hanya mengangguk. “Terus, mau gimana?”

Omong-omong, Dela dan Delffi ini satu kelompok, namanya kelompok Tiga Durian, memiliki lima anggota dan satu fasilitator. Jadi, waktu masih MPLS, murid-murid dibagi menjadi beberapa kelompok dan diminta memilih satu tema untuk proyek satu semester. Kebetulan atau bukan, Dela dan teman-temannya memilih buah durian sebagai sumber daya alam unggulan di daerah tempat tinggal Dela sendiri. Kemudian, di akhir semester diadakan acara gelar karya terkait proyek tema yang diambil. Pada acara tersebut, progress, kerja sama, serta pengetahuan yang didapat akan dinilai oleh para guru.

Saat ini, mereka berada di dalam kelas X IPS, di dalam kelas hanya ada anggota kelompok durian saja. Seperti biasa, setiap hari Sabtu setelah jam pelajaran berakhir, selalu diadakan rapat dengan fasilitator, mengingat sudah hampir akhir dari satu semester. Biasanya, fasilitator dari masing-masing kelompok bertanya sampai mana kemajuan dan rencana untuk ke depannya.

“Ya mau gimana? Aku sendiri aja bingung mau gimana. Komunikasi tim kita itu masih buruk, gak kayak kelompok lain. Kalau aja kelompok kita tuh bisa nyatu, ngobrol bisa lancar plus nyambung kayak tim lain, kujamin deh ini tim bisa maju,” omel Dela menjawab pertanyaan gadis tinggi yang tak lain dan tak bukan adalah Delffi. Dela sedikit sebal dengan anggota kelompoknya yang kurang bisa diajak berbicara mengenai proyek durian ini, dia mengakui itu.

“Iya juga sih. Aku juga agak heran.” Tepat setelah Delffi mengakhiri kalimatnya, Pak GP memasuki ruang kelas. Delffi segera meminta Viere, salah satu anggota kelompok laki-laki yang irit berbicara mematikan handphone-nya. Tak lupa, dia juga memperingatkan Wahyu yang masih asyik memperhatikan sesuatu di luar kelas agar duduk. Sedangkan, satu anggota terakhir, Jupa segera duduk dengan sendirinya tanpa diatur.

Pak GP adalah fasilitator kelompok durian, mengenakan kaca mata dan membawa tas berwarna merah. Pak GP adalah tipe guru yang sangat disiplin, konsisten terhadap waktu, tegas, namun suka melawak, dan ia selalu mengingatkan anak didiknya untuk aktif dan bertindak cepat. Di awal rapat, ia pasti membukanya dengan obrolan dahulu, lalu barulah sisanya membahas mengenai proyek.

Waktu itu, di hari Senin yang panas, beberapa minggu sebelum gelar karya diadakan. Dela berpikir masalah dekorasi, dia mendapat usulan dekor dari Bu Mawar, guru matematika, sehingga dia punya gambaran untuk dekorasi lain. Setelah menyampaikan informasi tersebut ke masing-masing anggota kelompok, mereka mengiyakan tugas yang sudah dibagi.

Dela membuat segala bentuk laporan dan poster, Delffi membuat bolu durian, Viere mengolah biji durian menjadi tepung, Wahyu membuat patung kertas berbentuk durian, sedangkan Jupa mengedit video.

Saat pertama, dia sedikit khawatir akan seperti apa gelar karya nanti, dan bagaimana rekan anggotanya dalam acara nanti. Namun, kekhawatiran itu seakan sirna ketika melihat sesuatu yang sangat berbeda dengan teman-temannya. Apa ini?! Viere yang ia pikir sulit berkomunikasi, kini malah berbicara dan memberikan banyak ide dan bantuan untuk dekorasi, serta secara tidak diminta Viere membuat boneka berbentuk durian. Wahyu yang paling sulit diatur berhasil membuat patung kertas dari durian. Jupa yang terlihat sebelas dua belas dengan Viere ternyata anak yang mudah diajak mengobrol dan agak kocak.

Delffi menganga namun terlihat menahan tawa sedangkan Dela terkejut bukan main! “Mereka ga seburuk apa yang kita kira. Tim kita maju, Yoa. Jangan berpikir tim kita ga kayak tim lain lagi, ya? Percaya deh.” Ujar Ceffin di sampingnya. “Yuk! Kita bantuin Viere dan temen-temen dekor!”

            Pandangan Dela salah besar. Namun, sekarang semuanya jelas. Delffi, si gadis yang memaksimalkan apa yang dia bisa. Viere, anak itu memang agak pendiam, namun jika sudah kenal dia akan banyak bicara dan kreatif jika didorong, juga rasa kepeduliannya yang tinggi. Wahyu, walau anak itu bandel, dia bisa bertanggung jawab dan sebenarnya bisa diajak kompromi. Jupa, selalu meminta maaf jika terlambat membaca pesan, ternyata langsung mengerjakan apa yang sudah ditugaskan. Dan untuk Dela sendiri, niatnya adalah untuk menjadi lebih baik, namun di dalam hatinya terlalu banyak keraguan, hal itu adalah sebuah kesalahan total. Yang diperlukan adalah kepercayaan.

Mengangguk kukuh, Dela percaya pada Delffi, Jupa, Viere, dan Wahyu. Kemudian, gelar karya yang ditunggu-tunggu pun tiba dan berakhir begitu cepat. Canda tawa kembali terdengar, perasaan senang dan lega begitu kentara sehingga aura positif memenuhi atmosfer. Pada saat seperti ini, datanglah Wahyu dengan kamera handphone-nya dan berteriak, “Gaes! Foto dulu, yuk! Buat kenang-kenangan, ye kagak? Hahahaha!” Murid lain yang mendengar teriakan itu berbaris rapi di belakangnya, membuat pose-pose andalan mereka, mengabadikan suasana.

Ya…. Memang begini seharusnya. Kita harus percaya sama anggota kelompok sendiri. Kalau masih bandingin sama orang lain, maka gak akan ada habisnya. Dan ternyata, ini semua bukan karena komunikasi yang menjadi masalah utama kami, tapi rasa percaya. Hah…. Aku jadi merasa bersalah karena sempat ga percaya pada mereka. Setidaknya, pemikiranku tentang mereka berubah dan temen-temen selalu mendukung satu sama lain secara ga nyadar. Bener kata orang, jangan nilai orang cuma dari pandangan pertama.” Dela berkata dalam hati, lantas tersenyum dan bergabung dengan teman-teman untuk mengabadikan suasana dan perasaan ini.

Ckrek!

            Kami akhiri ini dengan tawa bahagia bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEBAI MALANG - FOLKTALE IN ENGLISH

LAIRE GATOTKACA - CERITA WAYANG BAHASA JAWA